Cendekiawan atau ilmuwan muslim
adalah orang beragama Islam yang ahli dan banyak pengetahuannya dalam suatu
atau beberapa bidang ilmu. Dalam bahasa Arab, sebutan cendekiawan biasa dipakai
istilah Alim,, jamaknya adalah ‘Ulama’. Kemudian alim dibagi lagi
sesuai dengan bidang ilmu keahliannya. Ahli dalam bidang fikih (hukum Islam)
digunakan istilah Fakih, ahli dalam lapangan tafsir disebut mufasir, ahli dalam
lapangan hadits disebut muhaddis, sedang ahli nahwu (gramatika bahasa Arab)
disebut nuhaat dan lain sebagainya.
Dalam perjalanan sejarah, umat Islam sangat banyak memiliki
cendekiawan dalam berbagai lapangan, terutama pada zaman keemasan Islam.
Pada makalah ini penulis akan mengelompokkan serta memaparkan beberapa biografi
dan karya diantara mereka sesuai dengan bidangnya masing-masing :
A. Bidang
Fiqih/Hukum Islam
- Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya al-Nu'man bin Tsabit bin Zauthi. Lahir dan
dibesarkan di Kufah pada tahun 80 H. Dia wafat di Baghdad pada tahun 150 H.
Pada usia 70 tahun. Abu Hanifah hidup di masa dinasti Umayyah selama 52 tahun,
dan di masa dinasti Abbasiyyah selama 12 tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz
berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah sudah memasuki masa dewasa.
Untuk menjamin hidupnya dia berprofesi sebagai pedagang
sutera. Dalam berdagang dia dikenal jujur dan lugas.
Guru Abu Hanifah antara lain'Atho' bin Abi rabah, Hisyam bin
Urwah, Nafi' Maula ibnu Umar dan Hammad bin Sulaiman al-Asy'ari yang notabene
merupakan tabi'it-tabi'in.
Beliau berijtihad tentang fiqih berdasarkan pada al-Qur'an
dan Hadits/Sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir saja. Kendati Abu Hanifah
dikenal sebagai imam mazhab fiqih tetapi tidak ada satu pun kitab fiqihnya yang
sampai kepada kita. Pandangan-pandangannya yang tertulis dalam kitab al-'Alim
wa al-Muta'allim, kitab al-Rodd 'ala al-Qodariyah dan lain-lain tidak ditulis
dalam kitab fiqih. Tetapi murid-muridnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibani telah berusaha menjaganya dan meriwayatkannya dalam
bab-bab fiqih.
Mazhab Hanafi, kini banyak dianut oleh banyak bangsa, Turki,
Syiria, Libanon, sebagian Afganistan, Pakistan, India dan Tiongkok.
- Imam Malik
Namanya Malik bin Anas al-Ashbahi al-Madani. Lahir pada
tahun 93 H. Dan wafat pada tahun 179 H. Ia hidup di Madinah dan tidak pernah ke
mana-mana kecuali ke Makkah untuk melaksanakan rukun Islam ke lima.
Imam malik belajar qiro'ah kepada Nafi' bin Abi Na'im (salah
seorang qurro' sab'ah), Hadits kepada ulama Madinah, seperti Ibn Syihab
al-Zuhri dan Nafi' Maula ibn 'Umar.
Diantara karyanya yang terkenal adalah al-Mutawattho',
sebuah kitab hadits bergaya fiqih atau malah sebaliknya kitab fiqih bergaya
hadits yang merupakan kitab hadits dan fiqih tertua yang masih dapat kita
jumpai di masa sekarang
Di antara langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab Maliki
dalam berijtihad adalah penggunaan al-maslahah al-mursalah yang berarti
kepentingan, kebaikan yang diperoleh secara bebas. Menurut Imam Malik
kepentingan bersama merupakan sasaran syari'at Islam, dengan kata lain
prioritas dari semua produk hukum adalah kepentingan bersama, di atas
kepentingan lain.
Mazhab Maliki berkembang di Mesir dan Spanyol yang di bawa
oleh Yahya bin Yahya al-Laitsi. Selain al-Laitsi, terdapat beberapa ulama besar
yang juga ikut andil dalam mengembangkan mazhab Maliki, seperti Ibn Rusyd,
penulis kitab Bidayatu al-Mujtahid dan al-Syathibi, penulis al-Muwafaqot fi
Ushuli al-Fiqh.
- Imam Syafi'i
Namanya Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin Utsman bin
Syafi'i bin al-Saibah bin 'Ubaid bin Abd Yazid bin Hisyam bin Abd al-Muthollib
bin Abd Manaf al-Quraisyi. Beliau lahir di Ghazah atau Asqolan pada tahun 150
H. Tidak lama kemudian ketika ia berusia 2 tahun, ayahnya wafat dan dibawa
ibunya ke Makkah. Syafi'i kecil telah berhasil menghafalkan al-Qur'an,
menghafal banyak hadits serta menguasai satra Arab.
Di antara gurunya dalam bidang Hadits adalah Sufyan bin
Uyainah dan Muslim bin Kholid. Ia hafal al-Muwattho' serta berkesempatan
belajar pada penulisnya, imam Malik di Madinah hingga sang Guru wafat pada 179
H. Selain itu Syafi'i juga mengembara untuk menuntut ilmu ke Irak dan Yaman
bahkan sempat menetap di Baghdad selama 2 tahun sebelum kembali ke Makkah dan
akhirnya berkelana lagi ke Mesir.
Dalam berijtihad imam Syafi'i berdasarkan pada 4 hal secara
berurutan, yakni al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dan pemikirannya cenderung
berada di tengah; tidak mengikuti aliran tekstual, tetapi tidak juga kepada
aliran bebas.
Imam Syafi'i meninggalkan banyak karya, di antaranya, kitab
al-Umm, tentang keputusan Fiqih, al-Risalah, tentang ushul Fiqih dan masih
banyak lagi pemikiran beliau yang ditulis oleh para murid beliau.
Mazhab Syafi'i banyak dianut oleh bangsa Afrika, sebagian
besar Asia, termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
- Imam Ahmad bin Hanbal
Termasuk Mujtahid Mazhab ini, memiliki nama lengkap Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin As'ad al-Syaibani al-Marwazi. Lahir di
Baghdad pada tahun 164 H, di besarkan dan wafat di sana pada tahun 231 H.
Seperti hanya Syafi'i Imam Hambali juga berkelana ke banyak daerah untuk
menuntut ilmu, seperti Bashroh, Makkah, Madinah, Syam dan Yaman.
Sedangkan diantara guru beliau adalah Hasyim, Ibrahim bin
Sa'ad, Sufyan bin 'Uyainah dan Imam Syafi'i.
Dasar ijtihad Imam Hanbali adalah Nushush (al-Qur'an dan
Hadits), fatwa para shohabat, Hadits Mursal dan Dhoif sekiranya tidak ada
dalail yang menghalangi dan Qiyas. Dari sikapnya bahwa Qiyas (analogis)
ditempatkan di nomor terbelakang dan sifatnya darurat, dapat dimengerti kalau
Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya dikenal sebagai pemikir literalis.
Murid-murid bin Hanbal yang terkenal meneruskan pemikirannya
adalah, Ibnu Qudamah Muwafiquddin, penulis al-Mughni, Ibnu Qudamah Syamsuddin
al-Maqdisi, penulis al-Syarh al-Kabir, Syeikh al-Islam taqiyuddin abn Taimiyyah
dan Ibn al-Qoyim al-Jauziyyah.
Mazhab Hanbali dianut oleh orang-orang Nejad, bahkan dewasa
ini menjadi mazhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
B. Bidang
Tasawuf
1. Al
Hasan al Basri, Abu Said,
Hasan al Basri adalah ulama terkemuka dari
generasitabiin (generasi yang berjumpa dengan para sahabat Nabi, tapi
tidak dengan Nabi). Ia lahir di Madinah pada 642 (21 H). Ayahnya, Yassar, yang
berasal dari daerah Maisan (terletak antara Basrah dan Wasit), adalah anggota
angkatan perang Persia, tertawan oleh pasukan Islam di Irak pada 638 (16 H),
kemudian memeluk Islam, dan menjadi maula (anggota keluarga) Zait bin
Sabit. Ibunya, Khairah, adalah maulah Ummu Salamah, isteri Nabi
Muhammad SAW.
Sampai berusia belasan tahun, Hasan al Basri tinggal di
Madinah dan Wadi al Qura (Mekah), kemudian bersama orang tuanya pindah ke
Basrah (Irak). Baik di Madinah dan Mekah maupun di Basrah, Hasan al Basri dapat
bergaul dengan banyak sahabat-sahabat Nabi. Ia dapat menghayati semangat
kesederhanaan dan keikhlasan mereka beragama, di samping banyak menimba
informasi tentang sunah-sunah Nabi dari mereka. Sementara ayahnya berhasil
menjadi kaya-raya karena berdagang, ia bertekun pula memperkaya diri dengan ajaran-ajaran
agama, sehingga dalam usia menjelang 20 tahun telah mulai pula memberi
nasehat-nasehat agama kepada khalayak ramai.
Hasan al Basri dikarunia usia yang panjang dan dengan
demikian dapat menyaksikan tragedi-tragedi dalam sejarah umat Islam, seperti
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, perang saudara sesama muslim (Perang
Jamal, Siffin, dan lain-lain), terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib,
peristiwa Karbala, dan sebagainya, serta menyaksikan muncul berbagai paham dan
aliran di kalangan umat Islam.Ia juga pernah ikut dalam perang Islam untuk
menaklukkan Asia Tengah pada 50-an hijrah, dan pernah pula menjadi sekretaris
bagi gubernur yang diangkat untuk wilayah Asia Tengah itu. Belakangan ia tetap
kembali menetap di Basrah, sampai wafat dan dikuburkan di sana pada 729 (110
H).
Hasan al Basri termasuk ulama besar yang disegani. Ia
dikenal sebagai Imam Basrah. Pada dirinya berpadu ulama Mekah dan Madinah, yang
berpegang pada nash (al Qur’an dan Sunnah Nabi) dengan kepribadian
ulama Irak, yang banyak menggunakan pemikiran. Pengetahuannya luas, mencakup
bidang tafsir dan hadits, bidang aqidah dan fikih, sastra Arab dan lebih-lebih
bidang kerohanian, yang kemudian menjadi perhatian ilmu tasawuf. Ia dikenal
sebagai zahid besar, yang menjadi rujukan bagi zahid-zahid yang muncul
kemudian.
Selain Tasawuf dalam lapangan teologi pun Hasan al Basri
dikenal dengan baik, karena dari halaqahnyalah muncul Wasil bin atto' dan Amru
bin Ubaid, dua muridnya yang memisahkan diri darinya, dan menjadi pendiri
aliran Mu’tazilah.
2. Rabi’ah
al Adawiyah
Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al Adawiyah al Basriyah
adalah seorang sufi wanita terkenal dari abad ke-8 (2 H). Ia diperkirakan lahir
pada 713 (95 H) atau 717 (99 H) di suatu perkampungan di luar kota Basrah (Irak).
Ia wafat di kota itu pada 801 (185 H), dalam usia 90 atau 86 tahun. Ia bukanlah
Rabi’ah yang wafat di Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 753 (135 H).
Rabi’ah al Adawiyah dilahirkan sebagai putri keempat dari
sebuah keluarga yang miskin. Karena ia putri keempat ia diberi nama Rabi’ah
(yang keempat). Kedua orang tuanya wafat ketika berusia kanak-kanak.
Rabi’ah al Adawiyah pada mulanya tinggal di suatu dusun,
tapi kemudian tinggal di kota Basrah, dan bagian terbesar dari usianya
dihabiskannya di kota itu. Di sana ia memiliki majelis yang dikunjungi banyak
murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain, untuk
keperluan bertukar pikiran dengan sufi wanita itu. Di antara mereka yang pernah
mengunjunginya adalah Malik bin Dinar (w.748/ 130 H), Sufyan as Sauri (w.778/
161 H), dan Syaqiq al Balkhi (w.810/ 194 H).
Rabi’ah al Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta
dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada orang lain.
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahuluinya atau yang sezaman
dengannya, ia dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh
perasaan takut kepada Allah atau takut kepada neraka-Nya. Hatinya ternyata
penuh oleh perasaan cinta dan asyik-maksyuk dengan Allah, sebagai kekasihnya.
Para sarjana tasawuf memandang sufi wanita itu sebagai tonggak penting
perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah kepada fase
dominasi atau pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya.
Konon sesaat menjelang ia wafat, ia menyuruh para sahabatnya
keluar dari tempat pembaringannya: “Keluarlah, dan berikanlah ruang untuk para
utusan Tuhan”. Ketika mereka keluar dan menutup pintu, terdengarlah oleh mereka
suara Rabi’ah yang mengucapkan syahadat, kemudian menyusul jawaban “Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu, masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku
dan masuklah ke dalam surga-Ku”, Qur’an, 89 : 27-30 yang agaknya diperdengarkan
oleh para malaikat yang menjemput ruh (jiwa)-nya.
C. Bidang
Kedokteran
1. Ibnu Sina
Namanya Abu Ali Al Husain bin Abdullah, lahir
Afsyanah, Bukhara pada tahun 370 H / 980 M, wafat di Hamdan di tahun 428 H /
1037 M. Dokter dan filsuf Islam termasyhur. Di Barat terkenal dengan nama
Avicenna. Ayahnya seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395 H /
819-1005 M). Sejak kecil Ibnu Sina belajar menghafal Al Qur’an dan ilmu-ilmu
agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi,
hukum Islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian, ia menguasai
bermacam-macam ilmu pengetahuan. Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak
umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil
menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah.
Dia dua kali menjabat menteri pada Dinasti Hamdani (293-394 H / 905-1004 M).
Karena terlibat persoalan politik, ia dipenjarakan dan dipecat dari
kedudukannya sebagai menteri. Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa
gelar yang diberikan orang kepadanya, seperti Asy-Syaikh al-Ra'is (guru para raja)
di bidang filsafat dan pangeran para dokter di bidang kedokteran. Dia banyak
meninggalkan karya tulis, semuanya tidak kurang dari 200 buah, termasuk buku
saku dan kumpulan suratnya, kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa
Persia. Bukunya yang terkenal antara
lain, al-Syifa’ (penyembuhan), Al-Qanun fi
Al-Tibb(peraturan-peraturan dalam kedokteran) yang selama lima abad menjadi
literatur penting bagi fakultas-fakultas kedokteran di Eropa, al-Isyarah
wa al-Tanbihat (isyarat dan penjelasan), Mantq al-Masyiqiyyin (logika
Timur), dan ‘Uyan al-Hikmah (Mata Air Hikmah).
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam.
Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan
kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya Ibnu
Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamais dalam berfilsafat, sementara
Al-Gazali menjulukinya sebagai filsuf yang terlalu banyak berfikir.
Bukan hanya filsafat dan kedokteran saja Ibnu Sina
memberikan andil dan pemikirannya, ia juga turut serta ambil bagian dan
memberikan andil kepada berbagai ilmu pengetahuan pada zamannya, di antaranya
yang menonjol adalah ilmu astronomi. Ibnu Sina menambahkan dalam bukunya Al
Magest (buku tentang astronomi) berbagai problem yang belum dibahas, mengajukan
beberapa keberatan terhadap Euclides, meragukan padangan Aristoteles tentang
kesamaan binatang-binatang tak bergerak, kesamaan kesatuan jaraknya, dan
sebagainya. Untuk itu di dalam buku Asy Syifa’ ia menguraikan bahwa,
binatang-binatang yang tak bergerak tidak berada pada satu globe.
Ibnu Sina juga banyak membuat rumusan-rumusan tentang
pembentukan gunung-gunung, barang-barang tambang, di samping menghimpun
berbagai analisis tentang fenomena atmosfer, seperti angin, awan, dan pelangi.
Sementara orang yang sezaman dengannya tidak mampu menambahkan sesuatu ke dalam
bidang penelitian mereka.
Ibnu Sina juga mendalami masalah-masalah fikih dan
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an
untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.
2. Abu
Bakar ar Razi
selanjutnya disebut saja ar-Razi adalah dokter
terbesar yang pernah dilahirkan oleh dunia Islam Klasik, dan juga folosof. Ia
lahir di Ray, dekat Teheran, pada 865 (251 H). setelah mempelajari matematika,
astronomi, logika, sastra dan kimia, ia memusatkan perhatiannya pada kedokteran
dan falsafat.
Sebagian penulis menyebutkan bahwa setelah ia menjadi
Direktur Rumah Sakit di Ray dan kemudian di Baghdad, ia sering pindah dari
suatu kota atau negeri ke kota atau negeri lain, dan tidak menyebutkan dimana
wafatnya. Sebagian menyebutkan bahwa ia wafat di Baghdad, dan sebagian lain
menulis bahwa dari Baghdad, ar-Razi kembali ke Ray dan terus menetap di sana
sampai wafat. Tahun wafatnya juga ditulis secara bervariasi oleh para ahli 925
(313 H), 932 (320 H), dan lain-lain.
Kesungguhan ar-Razi untuk belajar, meneliti, bekerja, dan
menulis luar biasa. Ia pernah menulis dalam setahun lebih dari 20.000 lembar
kertas. Disebutkan bahwa untuk menghasilkan bukunya, al-Jami’ al Kabir
(Himpunan Besar), ia terus-menerus menulis siang malam selama 15 tahun. Bahkan
setelah daya penglihatannya lemah beberapa tahun menjelang wafat, ia tetap
tekun membaca dan menulis, kendati dengan pertolongan muridnya. Karya tulis
ar-Razi mencapai 232 buku atau risalah, yang kebanyakannya dalam bidang
kedokteran. Karya tulisnya yang terbesar adalah al Hawi, sebuah
ensiklopedi kedokteran yang terdiri dari 20 jilid, yang mengandung kedokteran
Yunani, Syiria, Arab, dan hasil penelitiannya sendiri. Ensiklopedi di kedokteran
tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin pada 1279, dan sejak 1486 berulang
kali dicetak, karena dipakai di Universitas-Universitas Eropa sampai dengan
abad ke-17. Karangannya tentang campak dan cacar (Fi al Judari wa al
Hasbat) juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, dan bahkan pada 1866
dicetak untuk ke-40 kalinya.
D. Bidang Matematika, Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam
1. Al-Khawarizmi
Lahir di daerah Khawarizm, Uzbaikistan, pada tahun 194 H /
780 M. Wafat di Baghdad pada tahun 266 H/ 850 M. Ilmuwan muslim, ahli bidang
ilmu Matematika, astronomi, dan geografi. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi dan di Barat ia lebih dikenal dengan nama
Algoarisme atau Algorisme.
Pada usia mudanya ia sudah tampil sebagai seorang ilmuwan
ulung dan ikut memperdalam dan menyumbangkan ilmunya di Baitu al
Hikmah (perpustakaan dan pusat pendidikan /kajian tingkat tingi di
Baghdad) dimasa pemerintahan Khalifah al Ma’mun (785-833). Disinilah ia bekerja
dalam sebuah observatorium untuk memperdalam matemaika dan astronomi. Disamping
itu, ia juga diserahi tugas oleh Khalifah sebagai kepala perpustakaan.
Dengan ketekunan dan kesungguhannya dalam memperdalam ilmu
matematika, ia berhasil memperkenalkan kepada dunia Islam angka dan metode perhitungan
India yang digalinya dari literatur Hindu. Karya-karyanya mengenai ilmu hitung
dan tabel-tabel astronomi pertama kali diterjemahkan oleh para sarjana Barat
pada abad ke-12. Karya aljabarnya yang paling monumental
berjudul Mukhtasar fi Hisab al Jabr wa al Muqabalah(Ringkasan Perhitungan
Aljabar dan Perbandingan). al-Khawarizmi menyebutkan dalam buku ini bahwa
aljabar berarti mengubah (urutan) sebuah kuantitas suatu persamaan dari satu
sisi ke sisi lain dalam arti memugar keseimbangannya lewat pengubahan
tanda-tandanya, dalam buku ini diuraikan pengertian-pengertian geometris. Ia
juga menyumbangkan teorema segitiga sama kaki yang tepat, perhitungan tinggi
serta luas segitiga, dan luas jajaran genjang serta lingkaran. Dengan
demikian, dalam beberapa hal al Khawarizmi telah membuat aljabar menjadi ilmu
eksak.
Buku ini diterjemahkan di London pada tahun 1831 oleh R.
Rosen, seorang matematikawan Inggris, kemudian diedit kedalam bahasa Arab oleh
Ali Mustafa Musyarafa dan Muhammad Mursi Ahmad, ahli matematika Mesir pada
tahun 1939. sebagian dari karya Al Khawarizmi ini pada abad ke-12 juga
diterjemahkan oleh Robert (tidak dkenal nama lengkanya), matamatikawan dari
Chester, Inggris, dengan judul Liber Alghebras et Al Mucabola (buku
aljabar dan perbandingan), yang kemudian (1915) diedit oleh L.C. Karpinski,
seorang matematikawan dari New York, America Serikat.gerard dari Cremina
(1114-1187), seorang matematikawan dari Italia, membuat versi kedua dari buku
Liber Algebras diatas dengan judul De Jebra et Almucabola(aljabar dan
perbandingan). Buku versi Gerard ini lebih baik dan bahkan mengungguli
buku F.C. Rosen. Dengan demikian, karya besar Al Khawarizmi ini tersebar di
Eropa dan demikian dikembangkan oleh para ilmuwan Barat.
Dalam buku tersebut, Al Khawarizmi memperkenalkan kepada
dunia ilmu pengetahuan angka 0 (nol) yang didalam bahasa Arab disebut Sifr.
Sebelum Al Kharizmi memperkenalkan angka nol, para ilmuwan Barat mempergunakan
abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya,
untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari tempat yang telah
ditentukan dalam hitungan. Akan tetapi, hitungan seperti ini tidak mendapat
sambutan dari kalangan ilmuwan Barat ketika itu dan mereka lebih tertarik untuk
menggunakan raqam al Binji (dartar angka Arab, termasuk angka nol),
hasil penemuan Al Khawarizmi. Dengan demikian, angka nol baru dikenal dan
dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan al Khawarizmi.
Seluruh angka yang diperkenalkan al Khawarizmi tersebut
terdapat dalam Kitab al-Jam’ wa al-Tafriq bi Hisab al-Hind (buku
Mengumpul [menambah] dan memecah dengan perhitungan India). Didunia Barat buku
ini dikenal dalam terjemahan latin Algoritmi de Numero Indorum.
Disamping itu, dari karya Al Khawarizmi dapat juga dipelajari asal-usul sejarah
angka-angka yang dipergunakan sampai sekarang. Buku tentang asal-usul dan
sejarah angka-angka ini telah diterjemahkan oleh seorang matematikawan Italia,
Prince Boncompagni, dengan judul Trattati d’Aritmatica yang diterbitkan di Roma
pada tahun 1857.
Melalui buku liber Alghoarismi (buku logaritma),
yang merupakan saduran dari buku Al Khawarizmi, uraian tentang operasi
penambahan, pengurangan, dan pembagian angka, lebih diperjelas dan diperinci
sehingga dapat diketahui bagaimana mempergunakan pecahan desimal
(per-sepuluhan) dan seksagesimal (perenampuluhan), yang menggunakan angka 1
(satu) sebagai pembilangan. Dari proses inilah diketahui bilangan lain dengan
cara penambahan, 1/3 + 1/15 = 2/5 atau ¼ + 1/28 = 2/7. Bentuk-bentuk pecahan
semacam ini telah berkembang di Abad Pertengahan, khususnya, ketika sistem
aturan warisan dalam Al Qur’an menampilkan ilmufara’id (pembagian
warisan), dan telah membuat operasi-operasi aritmatika yang menggunakan
angka-angka pecahan menjadi lengkap. Dari sinilah diketahui bahwa, ilmu aljabar
berasal dari dunia Islam, yakni melalui buah karya Al Khawarizmi dan ilmuwan
muslim lainnya, seperti Kusyiyar bin Labban (360 H / 971 M – 420 H / 1029 M),
yang menulis sebuah buku aljabar dengan judul Kitab fi Usul Hisab al
Hiand (Buku tentang Perhitungan India).
Penemuan ilmuwan muslim tersebut dipelajari, diteliti, dan
disempurnakan oleh ilmuwan Barat pada abad-abad berikutnya. Kitab aljabar yang
disusun Kusyiyar bin Labban di atas telah hilang, namun versi tertua yang masih
tersimpan di London dan Madrid adalah versi Latin dan Ibrani dari karya Al
Khawarizmi Zij As Sindhind (Tabel Astronomi) yang diterjemahkan oleh Adelard
dari Bath, seorang filsuf Inggris, kemudian diterjemahkan lagi dan diedit oleh
H. Suter ke dalam bahasa Jerman dengan judul Die Astronomischen Tafelen des
Muhammad Ibn Musa al Kharizmi (Tabel Astronomi oleh Muhammad bin Musa al
Khawarizmi). Kopenhagen 1962. karya ini sangat berpengaruh dalam pengembangan
ilmu pengetahuan didunia Barat.
Karya lain dari Al Khawarizmi adalah geografi yang
berjudul Kitab Sarah al-Art (buku gambaran Bumi). Buku ini memuat daftar
koordinat beberapa kota penting dan ciri-ciri geografisnya. Kitab in secara
tidak langsung mengacu pada buku geografhy yang disusun oleh
Claudius Ptolemacus (100-178), ilmuwan Yunani. Namun beberapa kesalahan yang
terdapat dalam kitab tersebut dikoreksi dan dibetulkan oleh al Khawarizmi dalam
bukunya Zij As Sindhind sebelum ia menyusun Kitab Surah al Art.
Disamping itu, Al Khawarizmi juga menyusun bukuIstihkraj
Tarikh al-Yahud, suatu uraian mengenai penanggalan Yahudi. Buku ini kaya akan
informasi dan merupakan petunjuk tertua tentang penanggalan Yahudi.
Dari beberapa buku yang disebutkan diatas, Al Khawarizmi
mewariskan beberapa istilah metematika yang masih banyak dipergunakan hingga
kini, seperti sinus, kosinus, tangen, dan kotangen.
Karya-karya al Khawarizmi dibidang matematika sebenarnya
banyak mengacu pada tulisan mengenai aljabar yan sisusun oleh Diophantus (250
SM) dari Yunani. Namun, dalam meneliti buku-buku aljabar tersebut Al Khawarizmi
menemukan beberapa kesalahan dan permasalahan yang masih kabur. Kesalahan dan
permasalahan ini diperbaiki, dijelaskan, dan dikembangkan oleh Al Khawarizmi
dalam karya-karya aljabarnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ia
dijuluki “Bapak Aljabar”. Bahkan menurut gandz, matematikawan barat,
dalam bukunya The Saurce of al Khawarizmi’s Algebra, al Khawarizmi
lebih berhak mendapatkan julukan “Bapak Aljabar” dibanding dengan Diophantus
karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar dalam bentuk elementer
serta menerapkannya dalam hal-hal yan berkaitan dengannya. Dibidang ilmu ukur,
al Khawarizmi juga dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan penyusun daftar
logaritma serta hitungan desimal. Namun beberapa sarjana matematika barat,
seperti John Napier (1550-1617) dan Simon Stevin (1548-1620), mengaggap
penemuan diatas merupakan hasil pemikiran mereka.
2. Ibnu
Haitam
Kelahiran Basra tahun 354 H/ 965, wafat di Cairo pada
tahun 430 H/ 1039 M. Seorang ahli fisika abad pertengahan. Ia juga
dikenal sebagai ahli matematika, ahli astronomi, filsuf, dan tokoh besar
optika. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitam
al-Basri al-Misri. Di Barat ia dikenal dengan beberapa nama, yaitu : Alhasen,
Avanathan, dan Avenetan, tetapi yang paling terkenal diantanya adalah
Alhazendia dibesarkan di Basra serta belajar matematika dan ilmu-ilmu lainnya
disana. Ketika di Basra ini, ia sudah menjadi seorang yang terkenal dengan ketinggian
ilmunya. Kemasyhurannya itulah yang membuat penguasa Bani Fatimah di Mesir
waktu itu, yaitu al-Hakim bin Amirillah (386-411 H / 996-1021 M), mengundangnya
ke Mesir. Maksud undangan Dinasti Fatimah itu adalah memanfaatkan keluasan ilmu
Ibnu Haitam. Di diharapkan mampu mengatur banjir Sungai Nil yang kerap kali
menggenangi lahan pertanian rakyat.
Ibnu Haitam meninggalkan hampir 200 karya tulis dalam
berbagai cabang ilmu matematika, fisika, astronomi, ilmu medis, dan juga
filsafat. Melalui tulisan-tulisannya itu dapat dipahami bahwa, ia sangat
mendalami segala macam pemikiran ilmuwan-ilmuwan Yunani, terutama karena
tulisan-tulisannya itu banyak yang merupakan bahasan dan kritiknya terhadap
pemikiran ilmuwan tersebut. Diantara tulisan-tilisannya adalah : Maqalah
fi Istikhraj Samt al-Qiblah (dalam buku ini dia menyusun teorema
kota), Maqalah fi Hayat al-Alam (mengulas astronomi), Kitab
fial-Manasit (sebuah kamus Optika), Fi al-Maraya al-Muhriqah bi al
Dawa’ir (tentang cermin yang dapat membakar), Maqalah Fi Daw’al-Qamar (membahas
cahaya dan gerak-gerik langit), Fi Sarah al-Khusuf(mengenai penggunaan
kamera obscura [kamar gelap] pada pengamatan gerhana matahari), Zawahir
al-Hazaq(tentang gejala senja), Fi Kayfiyat al-Izlal : Fi al-Asar Allazi
fi al-Qamar. Fi al-Daw : Fi al-Makan : Fi al-Ma’lumat ; Fi Misahat
al-Mujassamah (al-Jism) al-Mukafi : Fi Irtifa’ al-Qutb, semuanya tentang fisika
dan astronomi.tulisan-tulisan tersebut diatas yang berhubungan dengan disiplin
ilmu fisika dan matematika, disiplin yang sangat dikuasainya, hampir seluruhnya
diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa.
Dalam bidang astronomi, Ibnu Haitam melanjutkan pendapat
ilmuwan Yunani tentang proses pengubahan langit abstrak menjadi benda-benda
padat. Dalam karya astronominya, dia juga melukiskan gerak planet-planet, tidak
hanya dalam terma eksentrik dan episiklus, tetapi juga dalam satu model fisik.
Pendapatnya ini banyak berpengaruh terhadap pemikiran dunia Kristen hingga masa
Kepler. Karyanya tentang astronomi ini tiga abad kemudian diturunkan dalam
bentuk ikhtisar oleh astronom muslim terkenal lain, yaitu Nasiruddin al-Tusi.
Ia memberikan temuan baru dalam studi gerak, yaitu prinsip
inersia/ kekekalan. Jasanya yang lain adalah bahwa, ia membuat studi optika
menjadi sains yang baru. Dasar studi optika itu diubahnya dan studi itu
dijadikannya disiplin yang teratur dan terumuskan secara baik. Jasanya ialah
mengombinasikan penanganan secara matematis yang rumit dengan model fisik dan
exsperimen yang teliti sehingga mudah dimengerti. Dalam hal ini, ia dapat
dikatakan sebagai ahli fisika toritis dan exsperimental. Ia mengadakan
experimen untuk menentukan gerak rektilinear cahaya, sifat bayangan, penggunaan
lensa, camera obscura, dan banyak fenomena optika lainnya. Ia mempunyai mesin
bubut untuk membuat lensa dan cermin lengkung.
Dia juga telah menemukan bentuk lengkung yang ditempuh
cahaya ketika berjalan diudara. Berdasarkan temuannya itu, dia mendapatkan
bahwa, kita melihat cahaya bulan dan matahari sebelum keduanya betul-betul
tampak di cakrawala, sebaliknya kita masih bisa melihatnya di barat setelah
keduanya terbenam sejurus lamanya.
Temuan yang lain adalah keberhasilannya dalam mengawinkan
cermin-cermin bulat dan parabola sehingga ditemukan suatu metode untuk
mendapatkan fokus. Semua sinar dikonsentrasikan pada sebuah titik sehingga
merupakan sebuah cermin pembakaran yang terbaik. Temuan ilmiahnya yang terkenal
ialah pendapatnya bahwa, sinar cahaya bergerak mulai dari obyek dan berjalan
menuju ke mata. Retina mata adalah tempat penglihatan dan bukan yang
mengeluarkan cahaya. Pendapat ini adalah kebalikan dari apa yang pernah
dijelaskan oleh Euclides dan Ptolemaeus, pemikir Yunani yang berpendapat bahwa,
benda terlihat karena mata memancarkan sinar kepada benda.
Dalam bidang fisika, banyak temuannya mendahului dan diikuti
oleh Francis Bacon, Leonardo da Vinci, dan Johanes Kepler. Sementara dalam
bidang optika, Ibnu Haitam merupakan tokoh besar antara Claudius Ptolemaeus dan
Witelo
Selain bidang-bidang di atas, masih banyak lagi bidang yang
digarap oleh para cendekiawan muslim, misalnya, cendekiawan muslim dalam
lapangan teologi, umpamanya adalah, Abu Hasan al Asy’ari (873-935), al-Juba’i (
w. 303 H), Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944), dan Abu Yusr al Bazdawi
(421-493). Dalam lapangan hadits, dikenal beberapa nama ilmuwan besar, seperti
Imam Bhukari (w. 870), Imam Muslim (w. 875), Aa Tirmizi (w. 892), dan Al Nasa’i
(w. 915).
Tokoh cendekiawan muslim dalam lapangan ilmu sosial, antara
lain adalah Yaqut bin Abdullah al-Hamawi (1179-1229) yang mengarang
kitab Mu’jam al Buldan (kamus negara) yang merupakan sebuah kamus
tentang ilmu bumi. Seorang ahli ilmu bumi yang paling terkenal yang pernah
melakukan lawatan untuk penelitian, dan bahkan pernah bermukim di Aceh, adalah
Muhammad bin Abdullah bin muhammad bin Ibrahim Abu Abdullah al Lawati al Tanji
bin Batutah atau Ibnu Batutah (1304-1377) yang berasal dari Maroko. Seorang
ahli yang amat terkenal dibarat sampai sekarang ialah Waliuddin Abdurahman bin
Khaldun atau Ibnu Khaldun (1332-1406) yang mengarang
buku Muqaddimah(Pendahuluan). Tokoh ini dikenal sebagai bapak
Historiografi Modern. Pada lapangan filsafat kita mengenal pula
cendekiawan muslim yang amat besar jasanya terhadap dunia, antara lain Abu
Yusuf Ya’qub bin Ishak Al Kindi (801-866) yang terkenal sebagaifailasuf
al-Arab, yang juga mengasai banyak cabang ilmu lain seperti, matematika,
geometri, astronomi, farmakologi, ilmu hitung, dan optik. Filsuf lain lain
adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammadd bin Tarkhan bin Uzlag Al Farabi
(870-950) yang juga memiliki keahlian dalam lapangan logika, politik, ilmu
jiwa, dan sebagainya. Filsuf ini mendapat gelar sebagai al Mu’alim al Sani
(artinya “guru kedua” sedangkan “guru pertama” adalah Aristoteles). Filsuf lain
yang tidak kalah besarnya ialah Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhamad bin
Rusyd atau Ibnu Rusyd (1126-1198) yang juga memiliki berbagai keahlian dalam
lapangan ilmu lain.
Dalam catatan sejarah, setelah kekalahan Sholahuddin al
Ayyubi, pemimpin terakhir dari dinasti Ayyubiyyah, oleh raja Richard, raja
Inggris, pemimpin tentara kristiani, pada perang salib, seluruh maha karya para
cendekiawan muslim yang berada di perpustakaan di hanyutkan ke dalam sungai
Eufrat oleh Richard setelah disalin ke dalam beberapa bahasa mereka,
diantaranya bahasa Spanyol, Perancis, Jerman, Inggris dan sebagainya.
Dari beberapa riwayat di atas, maka dapat diambil
kesimpulan, bahwa para cendekiawan muslimlah peletak cikal bakal semua ilmu
pengetahuan modern dewasa ini bukannya ilmuwan Eropa/Barat, seperti pengakuan mereka
selama ini.
Pada masa sekarang ilmuwan muslim juga cukup banyak,
walaupun kebesarannya tidak setara dengan ilmuwan yang tersebut diatas. Ilmuwan
muslim itu dapat pula dikelompokkan menurut daerah asalnya, seperti ilmuwan
muslim Indonesia, Malaysia, dan Mesir. Demikian pula, mereka dapat
dikelompokkan menurut bidang keahliannya, seperti bidang ekonomi, kedokteran,
dan fisika.
Di Indonesia sendiri, kita sudah tidak asing dengan
pemikiran Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid dan lainnya tentang Islam Modern
dan demokrasi.
E. Bidang Sosiologi
1. Ibnu
Khaldun
Nama
lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun.
Nama kecilnya Abdurrahman. Nama panggilnya Abu Zaid; gelarnya Waliuddin, dan
nama populernya Ibnu Khaldun. (Ali Abdul Wahid Wafi’, 1985:5) Ibnu Khaldun
dikenal dengan Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis keturunan kepada
kakeknya yang kesembilan, yaitu Khalid bin Utsman, dan dia adalah orang pertama
dari marga ini yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk
berkebangsaan Arab. Dia dikenal dengan nama Khaldun sesuai dengan kebiasaan
orang-orang Andalusia dan orang-orang Maghribi, yang terbiasa menambahkan huruf
wawu dan nun di belakang nama-nama orang terkemuka sebagai penghormatan dan
takzim, seperti Khalid menjadi Khaldun.
Ibnu
Khaldun di lahirkan di Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H, atau tepatnya
pada 27 Mei 1333. Rumah tempat kelahirannya masih utuh hingga sekarang yang
terletak di jalan Turbah Bay. Dalam beberapa tahun terakhir ini rumah tersebut menjadi
pusat sekolah Idarah ‘Ulya, yang pada pintu masuknya terpampang sebuah batu
manner berukirkan nama dan tanggal kelahiran Ibnu Khaldun.
Bani Khalduniyah di Andalusia memainkan peran yang cukup menonjol, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Setelah menetap di Carmona, kemudian mereka pindah ke Sevilla, dikarenakan situasi politik di Andalusia yang mengalami kekacauan, baik karena perpecahan di kalangan Muslim maupun karena serangan pihak Kristen di Utara, maka Banu Khaldun pindah lagi ke Afiika Utara. Al- Hasan Ibn Jabir adalah nenek moyang Ibnu Khaldun yang mula-mula datang ke Afiika Utara, di mana Ceuta merupakan kota pertama kali yang mereka pijak, sebelum pindah ke Tunis pada tahun 1223. (Toto Suharto, 2003:33)
Di
Tunis, di tempat barunya, Banu Khaldun tetap memainkan peran penting. Muhammad
Ibn Muhammad, kakek Ibnu Khaldun, adalah seorang ‘hajib’, kepala rumah tangga
istana dinasti Hafsh. la sangat dikagumi dan disegani di kalangan istana,
berkali-kali Amir Abu Yahya al-Lihyani (711 H), pemimpin dinasti al-Muwahhidun
yang telah menguasai bani Hafz di Tunis, menawarkan kedudukan yang lebih tinggi
kepada Muhammad Ibn Muhammad, tetapi tawaran itu ditolaknya, pada akhir
hayatnya, kakek Ibnu suka menekuni ilmu-ilmu keagamaan hingga wafatnya pada
1337 M.
Dari
latar belakang keluarganya yang banyak bergerak dalam bidang politik dan
pengetahuan seperti inilah Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal
Ramadhan 732 H. Menurut perhitungan para sejarawan, hal ini bertepatan dengan
27 Mei 1333 M. Kondisi keluarga seperti itu kiranya telah berperan dominan
dalam membentuk kehidupan Ibnu Khaldun. Dunia politik dan ilmu pengetahuan
telah begitu menyatu dalam diri Ibnu Khaldun. Ditambah lag! kecerdasan otaknya
juga berperan bagi pengembangan karirnya. (Toto Suharto, 2003:34)
Secara
detail perjalanan hidup Ibnu Khaldun akan dipaparkan dalam tiga fase, yaitu:
Fase pertama; Masa Pendidikan
Fase pertama ini dilalui Ibnu Khaldun di Tunis dalam jangka waktu 18 tahun, yaitu antara tahun 1332-1350 M. Seperti halnya tradisi kaum Muslim pada waktu itu, ayahnya adalah guru pertamanya yang telah mendidiknya secara tradisional, mengajarkan dasar-dasar agama Islam. Di samping ayahnya, Ibnu Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari para gurunya di Tunis. Tunis pada waktu itu merupakan pusat para ulama dan sastrawan, tempat berkumpulnya para ulama Andalusia yang lari menuju Tunis akibat berbagai peristiwa politik.
Fase pertama ini dilalui Ibnu Khaldun di Tunis dalam jangka waktu 18 tahun, yaitu antara tahun 1332-1350 M. Seperti halnya tradisi kaum Muslim pada waktu itu, ayahnya adalah guru pertamanya yang telah mendidiknya secara tradisional, mengajarkan dasar-dasar agama Islam. Di samping ayahnya, Ibnu Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari para gurunya di Tunis. Tunis pada waktu itu merupakan pusat para ulama dan sastrawan, tempat berkumpulnya para ulama Andalusia yang lari menuju Tunis akibat berbagai peristiwa politik.
Seperti
halnya Toto Suharto, menukilkan dari Fathiyah Hasan Slaiman bahwa disebutkan
beberapa gurunya yang berjasa dalam perkembangan intelektualnya. Di antaranya
adalah Abu Abdillah Muhrnas Ibn Sa’ad al-Anshari dan Abu al-Abbas Ahmad ibn
Muhammad al-Bathani dalam qira’at; Abu Abdillah Ibn al-Qashar dalam ilmu
gramatika Arab; Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Bahr dan Abu Abdillah Ibn Jabir
al-Wadiyasyi dalam sastra; Abu Abdillah al-Jayyani dan Abu Abdillah ibn Abd
al-Salam dalam ilmu fiqh; dan masih banyak lagi gurunya. Walaupun dia mempunyai
banyak guru dan mempelajari berbagai disiplin ilmu, pendidikan yang diperoleh
Ibnu Khaldun sangatlah mendalam dan terkesan dalam dirinya.
Dilihat
dengan banyaknya disiplin ilmu yang dipelajari oleh Ibnu Khaldun pada masa
mudanya, dapat diketahui bahwa beliau memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang yang memiliki ambisi
tinggi, yang tidak puas dengan satu disiplin ilmu saja. Pengetahuan begitu luas
dan bervariasi. Hal ini merupakan kelebihan yang sekaligus juga merupakan
kekurangannya.
No comments:
Post a Comment