1. Kasus Timor – timur |
Peristiwa
ini terjadi pada bulan oktober tahun 1999. Pelanggaran HAM tersebut meliputi :
Pembunuhan dikompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga
Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan
rumah Manuel Carrascalao, 17 April ; penyerangan Diosis Dili, 5 September ;
penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September ; pembakaran rumah penduduk di
Maliana, 4 September ; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September;
pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander
Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos
25 September ; dan kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasusnya, yaitu Kasus Pembantaian
di kompleks Gereja Liquica, Kasus pembunuhan warga Kailako, Penyerangan rumah
Manuel Carrascalao, Penyerangan Diosis Dili, Penyerangan Rumah Uskup Belo,
Penghancuran massal dan pembunuhan di Maliana, Pembunuhan massal di kompleks
Gereja Suai.
2. Kasus Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah
gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak
sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki
mereka. Setidaknya 9 orang tewas
terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada
tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan
tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun
2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang
mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan
penyerangan oleh massa kepada aparat.
3.
Kasus Sampit
Pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah pada Pertengahan
Februari 2001. Pertikaian yang secara umum melibatkan etnis Dayak dan Madura
ini diperkirakan telah mengakibatkan 419 orang meninggal dunia, 93 orang
luka-luka, 1.304 rumah beserta 250 kendaraan bermotor dirusak dan dibakar serta
sebanyak 88.164 orang mengungsi. Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Tengah
yang bermula di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur dengan cepat menyebar
ke kota lainnya seperti di Palangka Raya, Kab. Kotawaringin Barat dan Kab.
Kapuas. Untuk mencegah agar konflik tidak meluas ke daerah lain di Kalimantan
Tengah, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah telah melakukan
serangkaian tindakan, antara lain mengirimkan sejumlah pasukan pengamanan
tambahan yang terdiri dari Pasukan BRIMOB dan TNI disamping melakukan
upaya-upaya evakuasi terhadap para pengungsi.
Dalam melakukan tugas-tugas pengamanan telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota Kesatuan BRIMOB dengan warga masyarakat di sejumlah lokasi, khususnya Peristiwa di Bundaran Besar Palangka Raya tanggal 8 Maret 2001 dan Peristiwa di Km. 40 – 41 Sampit ke Pangkalan Bun pada tanggal 6 April 2001. Dalam insiden tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda di kedua belah pihak.
Dalam melakukan tugas-tugas pengamanan telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota Kesatuan BRIMOB dengan warga masyarakat di sejumlah lokasi, khususnya Peristiwa di Bundaran Besar Palangka Raya tanggal 8 Maret 2001 dan Peristiwa di Km. 40 – 41 Sampit ke Pangkalan Bun pada tanggal 6 April 2001. Dalam insiden tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda di kedua belah pihak.
4.
Kasus Marsina
Marsinah (lahir 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24
tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang
selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang
terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr.
Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan,
Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah
memperoleh Penghargaan
Yap Thiam Hien pada tahun yang
sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh
Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
5.
Kasus Trisakti, Semanggi I & II
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi
pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi
dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa
Trisakti.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka
kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga
yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan
sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
6.
Kasus Pelajar & Tawuran Warga
Di
Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban
penganiayaan seorang guru. Tak terima dengan penganiayaan itu, orang tua siswa
pun melaporkan sang guru ke polisi.
Nur, warga Desa Sei Suka Deras, Kecamatan Sei Suka, Batubara, mendatangi kantor Polisi Sektor Indrapura untuk melaporkan kasus penganiayaan terhadap anaknya.
Anak Nur Aisyah mengaku dianiaya seorang guru perempuan berinisial RS.
peristiwa bermula saat anak itu salah menghapus tulisan yang berada di papan tulis. RS kemudian memarahinya dan memukul menggunakan kayu.
Akibat penganiayaan tersebut, sang anak mengalami memar di beberapa bagian tubuh dan sempat mengeluarkan darah dari hidung.
Nur menuturkan penganiayaan oleh RS terhadap anaknya sudah beberapa kali terjadi. Nur pun sudah melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Namun penganiayaan kembali terjadi dan menyebabkan anaknya terluka.
Nur, warga Desa Sei Suka Deras, Kecamatan Sei Suka, Batubara, mendatangi kantor Polisi Sektor Indrapura untuk melaporkan kasus penganiayaan terhadap anaknya.
Anak Nur Aisyah mengaku dianiaya seorang guru perempuan berinisial RS.
peristiwa bermula saat anak itu salah menghapus tulisan yang berada di papan tulis. RS kemudian memarahinya dan memukul menggunakan kayu.
Akibat penganiayaan tersebut, sang anak mengalami memar di beberapa bagian tubuh dan sempat mengeluarkan darah dari hidung.
Nur menuturkan penganiayaan oleh RS terhadap anaknya sudah beberapa kali terjadi. Nur pun sudah melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Namun penganiayaan kembali terjadi dan menyebabkan anaknya terluka.
Tawuran Warga
Warga di
Jalan Rawa, Johar Baru, terlibat tawuran. Warga yang didominasi pemuda ini
terlibat saling lempar menggunakam botol minuman, petasan, senjata tajam, dan
batu.
Akibat
tawuran itu, 2 rumah terbakar. Diduga, rumah terbakar lantaran petasan yang
dilemparkan salah satu kelompok pemuda. Salah satunya milik H Abdullah Amin dan
satu lagi milik Sundari. Tidak hanya 2 rumah yang ludes, 1 unit sepeda motor
milik H Abdullah pun ikut terbakar
7.
Kasus Hakim Sendiri
Sejumlah
warga menghakimi 2 orang penjambret yang tertangkap usai menjalankan aksi
mereka. Untung saja polisi segera datang mengamankan kedua pelaku yang babak
belur dihajar massa emosi.
Tanpa ampun
sejumlah warga melakukan aksi main hakim sendiri terhadap kedua penjambret ini
begitu keduanya jatuh dari sepeda motor yang mereka kendarai. Kedua penjambret
bernama Adi dan Franki ini baru saja kedapatan menjambret tas milik seorang
warga, bernama Dwi Heliwidya.
Para pelaku
sempat kabur dengan sepeda motor mereka, namun kemudian jatuh akibat menabrak
becak yang melintas di Jalan Pasar III, Krakatau, Medan, Sumatera Utara ini.
Tak ayal para pelaku langsung dihakimi massa tanpa ampun. Untung saja aparat
polisi Sektor Medan Timur segera datang dan mengamankan kedua pelaku.
Kepada
polisi tersangka Adi mengaku, ia menjambret untuk membiayai ibunya yang tengah
dirawat di Rumah Sakit Haji Medan. Suasana Jalan Pasar III, Simpang Krakatau
sempat dipadati ratusan warga yang ingin menyaksikan rupa para tersangka.
Akibat
menderita luka cukup parah, kedua pelaku penjambretan ini segera dilarikan ke
rumah sakit terdekat.
8.
Kasus Antar
Agama di Ambon
Sesuai
dengan data temuan konflik antar agama di Ambon, ternyata yang menjadi penyebab
segregasi masyarakat di Ambon berdasarkan agamanya adalah pengaruh dari
pemerintahan pusat. Disebutkan bahwa segregasi yang terjadi antara Kristen dan
Islam awalnya dibentuk oleh pemerintahan masa penjajahan Belanda. Pada masa
penjajahan Belanda, pemerintahan lebih memihak dan menganggap unggul kelompok
yang beragama Kristen.
Hal
ini mengakibatkan adanya ketimpangan yang dirasakan oleh kelompok beragama
Islam yang kemudian hanya bekerja menjadi pedagang. Seiring berjalannya masa
hingga sampai pada masa Orde Baru, kelompok beragama Islam menjadi lebih sukses
dari berdagang dengan kondisi yang lebih baik dari kelompok beragama Kristen,
banyak juga pendatang dari sekitar Maluku untuk berdagang di Ambon.
Selain
itu muncul intelektual-intelektual ekonomi di mana pada masa Orde Baru,
pemerintah mengangkat intelektual ekonomi dari kelompok beragama Islam tersebut
dalam pemerintahan sehingga lebih dianggap unggul. Dalam hal ini, terjadi
ketimpangan bagi kelompok beragama Kristen. Pada dasarnya ketimpangan terjadi
tidak membawa perbedaan agama, namun sebagian besar adalah kelompok beragama
sama.
No comments:
Post a Comment