Friday, March 7, 2014

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

    
1.    Kasus Timor – timur

Peristiwa ini terjadi pada bulan oktober tahun 1999. Pelanggaran HAM tersebut meliputi : Pembunuhan dikompleks Gereja Liquica, 6 April; penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro; penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April ; penyerangan Diosis Dili, 5 September ; penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September ; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4 September ; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8 September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos 25 September ; dan kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasusnya, yaitu Kasus Pembantaian di kompleks Gereja Liquica, Kasus pembunuhan warga Kailako, Penyerangan rumah Manuel Carrascalao, Penyerangan Diosis Dili, Penyerangan Rumah Uskup Belo, Penghancuran massal dan pembunuhan di Maliana, Pembunuhan massal di kompleks Gereja Suai.


2.       Kasus Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.  Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.  Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila . Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salahsatu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
3.     
sampit 2.jpg

Kasus Sampit

Pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah pada Pertengahan Februari 2001. Pertikaian yang secara umum melibatkan etnis Dayak dan Madura ini diperkirakan telah mengakibatkan 419 orang meninggal dunia, 93 orang luka-luka, 1.304 rumah beserta 250 kendaraan bermotor dirusak dan dibakar serta sebanyak 88.164 orang mengungsi. Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Tengah yang bermula di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur dengan cepat menyebar ke kota lainnya seperti di Palangka Raya, Kab. Kotawaringin Barat dan Kab. Kapuas. Untuk mencegah agar konflik tidak meluas ke daerah lain di Kalimantan Tengah, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah telah melakukan serangkaian tindakan, antara lain mengirimkan sejumlah pasukan pengamanan tambahan yang terdiri dari Pasukan BRIMOB dan TNI disamping melakukan upaya-upaya evakuasi terhadap para pengungsi.
           Dalam melakukan tugas-tugas pengamanan telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota Kesatuan BRIMOB dengan warga masyarakat di sejumlah lokasi, khususnya Peristiwa di Bundaran Besar Palangka Raya tanggal 8 Maret 2001 dan Peristiwa di Km. 40 – 41 Sampit ke Pangkalan Bun pada tanggal 6 April 2001. Dalam insiden tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda di kedua belah pihak.

4.     
kasus marsinah.jpg

Kasus Marsina

Marsinah (lahir 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.



5.     
trisakti & semanggi I.jpg

Kasus Trisakti, Semanggi I & II

Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. 
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata. 

          Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). 
6.     
6.jpg

Kasus Pelajar & Tawuran Warga

Di Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban penganiayaan seorang guru. Tak terima dengan penganiayaan itu, orang tua siswa pun melaporkan sang guru ke polisi.
          Nur, warga Desa Sei Suka Deras, Kecamatan Sei Suka, Batubara, mendatangi kantor Polisi Sektor Indrapura untuk melaporkan kasus penganiayaan terhadap anaknya.
           Anak Nur Aisyah mengaku dianiaya seorang guru perempuan berinisial RS.
peristiwa bermula saat anak itu salah menghapus tulisan yang berada di papan tulis. RS kemudian memarahinya dan memukul menggunakan kayu.

           Akibat penganiayaan tersebut, sang anak mengalami memar di beberapa bagian tubuh dan sempat mengeluarkan darah dari hidung.

Nur menuturkan penganiayaan oleh RS terhadap anaknya sudah beberapa kali terjadi. Nur pun sudah melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Namun penganiayaan kembali terjadi dan menyebabkan anaknya terluka.
Tawuran Warga
Warga di Jalan Rawa, Johar Baru, terlibat tawuran. Warga yang didominasi pemuda ini terlibat saling lempar menggunakam botol minuman, petasan, senjata tajam, dan batu.
Akibat tawuran itu, 2 rumah terbakar. Diduga, rumah terbakar lantaran petasan yang dilemparkan salah satu kelompok pemuda. Salah satunya milik H Abdullah Amin dan satu lagi milik Sundari. Tidak hanya 2 rumah yang ludes, 1 unit sepeda motor milik H Abdullah pun ikut terbakar
7.      Kasus Hakim Sendiri
Sejumlah warga menghakimi 2 orang penjambret yang tertangkap usai menjalankan aksi mereka. Untung saja polisi segera datang mengamankan kedua pelaku yang babak belur dihajar massa emosi.
Tanpa ampun sejumlah warga melakukan aksi main hakim sendiri terhadap kedua penjambret ini begitu keduanya jatuh dari sepeda motor yang mereka kendarai. Kedua penjambret bernama Adi dan Franki ini baru saja kedapatan menjambret tas milik seorang warga, bernama Dwi Heliwidya.
Para pelaku sempat kabur dengan sepeda motor mereka, namun kemudian jatuh akibat menabrak becak yang melintas di Jalan Pasar III, Krakatau, Medan, Sumatera Utara ini. Tak ayal para pelaku langsung dihakimi massa tanpa ampun. Untung saja aparat polisi Sektor Medan Timur segera datang dan mengamankan kedua pelaku.
Kepada polisi tersangka Adi mengaku, ia menjambret untuk membiayai ibunya yang tengah dirawat di Rumah Sakit Haji Medan. Suasana Jalan Pasar III, Simpang Krakatau sempat dipadati ratusan warga yang ingin menyaksikan rupa para tersangka.
Akibat menderita luka cukup parah, kedua pelaku penjambretan ini segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

8.      Kasus Antar Agama di Ambon

Sesuai dengan data temuan konflik antar agama di Ambon, ternyata yang menjadi penyebab segregasi masyarakat di Ambon berdasarkan agamanya adalah pengaruh dari pemerintahan pusat. Disebutkan bahwa segregasi yang terjadi antara Kristen dan Islam awalnya dibentuk oleh pemerintahan masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan lebih memihak dan menganggap unggul kelompok yang beragama Kristen.
Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan yang dirasakan oleh kelompok beragama Islam yang kemudian hanya bekerja menjadi pedagang. Seiring berjalannya masa hingga sampai pada masa Orde Baru, kelompok beragama Islam menjadi lebih sukses dari berdagang dengan kondisi yang lebih baik dari kelompok beragama Kristen, banyak juga pendatang dari sekitar Maluku untuk berdagang di Ambon.
Selain itu muncul intelektual-intelektual ekonomi di mana pada masa Orde Baru, pemerintah mengangkat intelektual ekonomi dari kelompok beragama Islam tersebut dalam pemerintahan sehingga lebih dianggap unggul. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan bagi kelompok beragama Kristen. Pada dasarnya ketimpangan terjadi tidak membawa perbedaan agama, namun sebagian besar adalah kelompok beragama sama.

No comments:

Post a Comment