Sunday, November 16, 2014

SHALAT I'DAIN

1.        Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah mu'akkad. Shalat ini disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Nabi senantiasa mengerjakannya dan memerintahkan kepada seluruh umatnya, baik laki – laki maupun wanita untuk keluar menuju tempat shalat 'id. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan hal itu melalui firman-Nya :
“sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak maka dirikanlah shalat karena Allah dan berkurbanlah.”(Al – Kautsar 1 – 2).
Shalat 'Ied merupakan salah satu syi'ar islam, sekaligus sebagai salah satu penampilan yang di dalamnya memperlihatkan bukti keimanan yang kuat.
2.        Waktu Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Waktu pelaksanaan shalat 'Ied ini berawal sejak matahari mulai meninggi sampai tergelincir secara sempurna. Adapun bagi shalat idul adha lebih diutamakan untuk dikerjakan pada awal waktu, sehingga memungkinkan bagi para jamaah untuk menyembelih hewan kurbannya setelah mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Al-Barra', di mana ia menceritakan ; aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah seraya bersabda :
“ Sesungguhnya sesuatu yang kami awali pada hari ini adalah mengerjakan shalat, kemudian kembali pulang dan menyembelih kurban. Barangsiapa mengerjakan hal itu, maka ia telah menjalankan sunnah kami.”(HR Imam Al- Bukhari).
Sedangkan pada hari raya idul fitri dianjurkan untuk mengakhirkan waktu pelaksanaan shalat, supaya kaum muslimin dapat mengeluarkan zakat fitrah mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Jandib ra:
“ Nabi pernah mengerjakan shalat idul fitri bersama kami dan pada saat itu matahari setinggi dua tombak. Sedangkan pada shalat idul adha, matahari baru setinggi satu tombak.”(HR Ibnu Hajar).
Syaikh Abu Bakar Al – Jazairi juga menjelaskan bahwa waktu shalat 'Ied dimulai dari terbit matahari sepenggal galah hingga tergelincir. Dianjurkan melaksanakan shalat idul adha di awal waktu, agar orang bisa menyembelih hewan kurbam. Adapun shalat idul fitri sebaiknya diakhirkan agar orang punya kesempatan mengeluarkan zakat fitrah (Minhajul Muslim 278).
3.        Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Adapun tata cara pelaksanaan sholat idain, yaitu :
1.    Dilaksanakan secara berjamaah
2.    Tidak didahului azan dan iqamat sebagaimana sabda Rasulullah ;
"Tidak ada azan bagi sembahyang Hari Raya Fitrah (Aidilfitri) dan sembahyang Hari Raya Korban (Aidiladha). jga tiada iqamat." (HR. Bukhari dan Muslim)
3.    Jumlah rakaatnya adalah 2 rakaat
Hal ini didasarkan pada riwayat Umar ra.”shalat ketika bepergian itu dua rekaat, sholat idul adha dua rakaat, dan shalat idul fitri dua rakaat. Bentuknya sempurna dan bukan qashar, berdasarkan sabda Muhammad saw,” (HR Ahmad 1/37, Nasa'i 3/183, Baihaqy 3/200 dengan sanad yang shahih).
4.    Membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan takbir lima kali pada rakaat yang kedua.
Takbir tujuh kali dalam rakaat yang pertama tersebut tidak termasuk takbiratul ihram. Demikian juga takbir lima kali dalam rakaat yang kedua tidak termasuk takbir intiqal saat berdiri dari sujud. Takbir tujuh kali pada rakaat yang pertama dibaca setelah membaca doa iftitah, sedangkan takbir lima kali dalam rakaat kedua dibaca ketika sudah berdiri sempurna pada rakaat yang kedua sebelum imam membaca surat Al Fatihah. Di sela-sela takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua tersebut disunahkan untuk membaca lafaz : Subhanallah walhamdulillah walaailaaha illallah allahuakbar "Mahasuci Allah SWT, segala puji bagi Allah , tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Allah Mahabesar"
5.    Imam mengeraskan bacaan (jahran)
6.    Setelah shalat Id dilanjutkan dengan khutbah
4.        Adab – adab
a.                                                                                                     Tanpa Adzan dan Iqamah
Shalat Ied dikerjakan tanpa dikumandangkan adzan dan juga iqamat. Hal ini berdasarkan pada hadist dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana ia berkata :
“Tidak pernah dikumandangkan adzan pada hari raya idul fitri dan juga idul adha”.(HR Muttafaqun Alaih).
  1. Di sunnahkan mandi, memakai wewangian dan berpakaian baik
Mandi pada pagi hari sebelum berangkat untuk menunaikan shalat 'Ied adalah amalan yang sunnah. Waktu disunnahkannya mandi tersebut dimulai sejak pertengahan malam. Bagi para wanita muslimah dianjurkan memakai wewangian ketika mengerjakan shalat 'ied dan mengenakan pakaian yang baik. Akan tetapi, pemakaian wewangian itu tidak boleh berlebihan, sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Dari Annas bin Malik ra, ia menceritakan :
“Pada hari raya idul fitri dan idul adha, Rasulullah memerintahkan kami untuk mengenakan pakaian terbaik yang kami miliki dan memakai wewangian yang terbaik yang ada pada kami, serta berkurban dengan binatang yang tergemuk yang kami punyai.”(HR Al - Hakim)
  1. Makan sebelum melaksanakan shalat idul fitri
Disunnahkan untuk memakan beberapa buah kurma yang jumlahnya ganjil sebelum berangkat menuju tempat pelaksanaan shalat idul fitri. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, dimana ia menceritakan :
“Rasulullah saw tidak berangkat shalat pada hari raya idul fitri, sehingga beliau memakan beberapa buah kurma.”
Murajja' bin Raja' mengatakan : Ubaidillah pernah memberitahukan kepadaku, di mana ia menceritakan; Anas bin Malik ra pernah memberitahukan kepadaku dari Nabi saw : “bahwa beliau memakan kurma itu dalam jumlah ganjil.”(HR Imam Al – Bukhari).
  1. Makan setelah melaksanakan shalat idul adha
Makan pada hari raya idul adha disunnahkan setelah mengerjakan shalat 'Ied. Jika Allah swt memberikan kemurahan untuk berkurban, maka kita diperbolehkan untuk memakan hati dari hewan yang kita kurbankan tersebut. Seperti halnya para penghuni surga, di mana makanan yang pertama kali disuguhkan kepada mereka ketika memasuki surga adalah hati ikan paus. Dari Buraidah ra, diceritakan :
“Bahwa Nabi tidak berangkat shalat pada hari raya idul fitri melainkan setelah makan, dan beliau tidak makan pada hari raya Idul adha, melainkan setelah kembali dari shalat.”(HR Imam At-Tirmidzi, Ibu Majah dan Imam Ahmad).
  1. Menempuh jalan yang berbeda
Disunahkan untuk berangkat ke tempat pelaksanaan shalat 'Ied melalui suatu jalan dan kembali pulang menempuh jalan yang lain. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra, dimana ia bercerita :
“Apabila berangkat shalat 'ied, Nabi menempuh jalan yang berbeda dengan jalan lyang beliau tempuh pada saat pulang.” (HR Imam Al – Bukhari).
Ibnul Qyyim al – Juziyah (dalam Al Izzah)menerangkan pengertian “menempuh jalan lain” yaitu : beliau pergi melalui sebuah jalan dan pulang melalui jalan lain. Diantara hikmahnya adalah untuk menmpakkan syiar islam.
  1. Berangkat ke tempat pelaksanaan shalat
Disunnahkan bagi wanita muslimah untuk berangkat ke tanah lapang pada saat hendak melaksanakan shalat idul fitri maupun idul adha. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, para sahat dan tabi'in.
Dari Sa’ad ra bahwa Nabi saw keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki, dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri).” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
  1. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat idul fitri dan idul adha.
Tidak ada satu dalil pun yang menetapkan adanya shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat 'ied. Nabi saw dan juga para sahabatnya tidak pernah mengerjakan satu raka'at pun shalat sunnah sebelum maupun sesudah shalat 'ied.
Dari ibnu abbas ra, ia berkata :
“Rasulullah pernah berangkat untuk menunaikan shalat pada hari raya, lalu beliau mengerjakan shalat dua raka'at (yaitu shalat 'ied) dan tidak mengerjakan shalat yang lain sebelum maupun sesudahnya.”(HR Jamaah).
  1. Mengucapkan selamat pada hari raya
Disunnahkan bagi kaum muslimin danmuslimat pada hari raya ini memberikan ucapan selamat. Hal ini berdasarkan pada hadits dari Jubair bin Nufail, di mana ia berkata:
“Apabila para sahabat Rasulullah saw bertemu pada hari raya, maka mereka saling mengucapkan : Taqobballahu Minna wa minka.”(Al – Hafidz Ibny Hajar mengatakan, isnad hadits ini berstatus hasan)
i.        Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رضى الله عنهما يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi saw dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”(HR Bukhari dan Muslim)
7.    Beberapa kesalahan dalam pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha
Wahid abdus salam bali menyebutkan beberapa kesalahan dalam pelaksanaan shalat idain, diantaranya :
a.                                 Mengkhususkan hari raya untuk qiyamullail
Adapun mengkhususkan satu malam tertentu untuk qiyamullail dengan asumsi bahwa malam itu memiliki keutamaan dibandingkan malam – malam yang lain, tanpa disertai dalil syara’ merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan.
b.        Pergi ke makam pada hari raya
Setelah selesai melaksanakan shalat ‘ied, sebagian kaum muslimin ada yang pergi ke makam – makam untuk menziarahi kubur kerabat atau temannya pada hari raya. Sebagian yang lain ada yang mengakhirkan ziarah kuburnya pada sore harinya. Kedua hal ini merupakan kesalahan.
Syaikh Ali Mahfuzh rahimahullah menuturkan :”diantara praktik – praktik bid’ah adalah kesibukan kaum muslimin seusai shalat ‘ied dengan berziarah ke makam – makam para wali ataupun makam para kerabat sebelum mereka pergi ke keluarga mereka. Dahulu, Rasulullah saw keluar  bersama para sahabat beliau ke padang sahara untuk melaksanakan shalat ‘ied. Beliau pergi melewati satu jalan dan pulang melewati jalan yang lain. Tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau berziarah ke suatu makam selama kepergian dan kepulangan beliau, padahal ada banyak makam yang berada disepanjang perjalanan beliau.”
c.                                 Berjabat tangan dengan bukan mahram pada hari raya
Pada hari raya memang disunnahkan untuk mengunjungi kaum kerabat dan bersilaturrahim. Akan tetapi, dalam kunjungan – kunjungan ini terkadang terjadi hal – hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya saling berjabat tangan dengan yang bukan mahramnya.
Ar – ruyani telah meriwayatkan dengan sanad jayyid, dari Ma’qal bin Yasar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: sungguh lebih baik kepala seorang laki – laki ditusuk dengan jarum besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.(HR Ar-Ruyani (II/227) dan ditetapkan ke-shahihannya- oleh Al-Albani dalam Ash – Shahihah hlm. 226.hadis ini shahih)
d.                                Keyakinan bahwa hewan betina tidak boleh untuk berkorban
Sebagian orang mengira bahwa binatang betina tidak boleh dipakai untuk berkurban. Keyakinan ini salah, sebab sebagaimanan halnya hewan jantan dan betina tetap boleh digunakan untuk berkurban.
e.                                 Mengambil bulu dan kuku hewan kurban
Barangsiapa yang telah berniat untuk berkurban, maka ia tidak boleh mengambil sedikit pun dari anggota tubuh hewan kurban, baik bulu maupun kukunya, sejak awal bulan Dzulhijjah hingga waktu penyembelihan. Hal ini didasarkan pada hadis Ummu Salamah ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda : barangsiapa yang telah melihat hilal (tanggal satu) bulan Dzulhijjah dan dia ingin berkurban, maka janganlah mengambil bulu ataupun kukunya hingga ia menyembelihnya (HR An- Nasa’i).
8.      Apabila Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumat.
Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat maka kaum lelaki diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumat.
Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya kepada Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, “Apakah kamu pernah mengalami hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertepatan dengan hari Jumat?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat id dan memberi keringanan untuk tidak hadir shalat jumat. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin shalat jumat, silakan shalat jumat.” (HR. Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah terkumpul di hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin meninggalkan jumatan maka shalat id ini telah cukup baginya untuk meninggalkan shalat jumat. Namun kami akan melaksanakan shalat jumat.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i; dishahihkan Al-Albani)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika terkumpul dua hari raya (dalam sehari) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami masyarakat dan bersabda, “Barangsiapa yang ingin mendatangi shalat jumat maka silakan datang, dan barangsiapa yang ingin tidak shalat jumat silakan tidak shalat jumat.” (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Keterangan:
1.    Yang dimaksud “dua hari raya” pada hadits-hadits di atas adalah hari raya Idul Adha dan hari Jumat.  Keringanan meninggalkan shalat jumat hanya khusus untuk orang yang sudah melaksanakan shalat id. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat id, dia wajib mengikuti shalat jumat. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dari Mu’awiyah dan hadits Abu Hurairah ra. Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat jumat, maka wajib baginya melaksanakan shalat zuhur empat rakaat, karena shalat zuhur adalah kewajiban asal ketika tidak shalat jumat.
2.    Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Bagi petugas shalat jumat (yaitu khatib dan muazin), kewajiban shalat jumatnya tidak gugur, menurut pendapat yang benar. Berdasarkan sabda Nabi saw, “Namun kami akan melaksanakan jumatan.” Jika khatib dan petugas jumatan tidak datang, ini akan menghalangi orang lain yang wajib mengikuti jumatan (mendengarkan khutbah jumat dan mendirikan shalat jumat) untuk melaksanakan jumatan, berbeda dengan masyarakat umum yang boleh tidak jumatan.” (Al-Mughni: 2/212, Ibnu Qudamah)
9.      Halal bi halal
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi saw bersabda, “Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri). Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum. Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan ketiga ayat berikut
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban… (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan “melakukan aktivitas apa pun.” Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-’Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.
Minal ‘Aidin Wal Faizin
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal ‘Aidin wal Faizin. Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan)”.
Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan)”.
Dari segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali kepada fitrah manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa juga berarti “agama yang benar”.
Setelah berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah dan mengasuh jiwa dengan berpuasa, kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian kita, kembali ke dalam keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan dulu, serta bisa kembali mengamalkan ajaran agama yang benar.
Sedangkan kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan. Dalam konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, seluruhnya (kecuali dalam QS 4: 73), berarti “pengampunan dan keridhaan Allah SWT serta kebahagiaan surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya dipahami sebagai harapan dan doa, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh keberuntungan berupa memperoleh ampunan dan ridha Allah swt sehingga kita semua mendapat kenikmatan surga-Nya.
Barangsiapa yang dijauhkan –walaupun sedikit– dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 185).

No comments:

Post a Comment