1.
Hukum Shalat Idul Fitri dan
Idul Adha
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah
sunnah mu'akkad. Shalat ini disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Nabi
senantiasa mengerjakannya dan memerintahkan kepada seluruh umatnya, baik laki –
laki maupun wanita untuk keluar menuju tempat shalat 'id. Bahkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan hal itu melalui firman-Nya :
“sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak maka dirikanlah shalat karena
Allah dan berkurbanlah.”(Al – Kautsar 1 – 2).
Shalat 'Ied merupakan salah
satu syi'ar islam, sekaligus sebagai salah satu penampilan yang di dalamnya
memperlihatkan bukti keimanan yang kuat.
2.
Waktu
Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Waktu pelaksanaan shalat 'Ied ini
berawal sejak matahari mulai meninggi sampai tergelincir secara sempurna.
Adapun bagi shalat idul adha lebih diutamakan untuk dikerjakan pada awal waktu,
sehingga memungkinkan bagi para jamaah untuk menyembelih hewan kurbannya
setelah mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Al-Barra',
di mana ia menceritakan ; aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah seraya
bersabda :
“
Sesungguhnya sesuatu yang kami awali pada hari ini adalah mengerjakan shalat,
kemudian kembali pulang dan menyembelih kurban. Barangsiapa mengerjakan hal
itu, maka ia telah menjalankan sunnah kami.”(HR Imam Al- Bukhari).
Sedangkan pada hari raya idul
fitri dianjurkan untuk mengakhirkan waktu pelaksanaan shalat, supaya kaum
muslimin dapat mengeluarkan zakat fitrah mereka, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits dari Jandib ra:
“ Nabi
pernah mengerjakan shalat idul fitri bersama kami dan pada saat itu matahari
setinggi dua tombak. Sedangkan pada shalat idul adha, matahari baru setinggi
satu tombak.”(HR
Ibnu Hajar).
Syaikh Abu Bakar Al – Jazairi juga menjelaskan bahwa
waktu shalat 'Ied dimulai dari terbit matahari sepenggal galah hingga
tergelincir. Dianjurkan melaksanakan shalat idul adha di awal waktu, agar orang
bisa menyembelih hewan kurbam. Adapun shalat idul fitri sebaiknya diakhirkan
agar orang punya kesempatan mengeluarkan zakat fitrah (Minhajul Muslim 278).
3.
Tata Cara
Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Adapun tata cara pelaksanaan sholat
idain, yaitu :
1.
Dilaksanakan secara berjamaah
2.
Tidak didahului azan dan iqamat
sebagaimana sabda Rasulullah ;
"Tidak
ada azan bagi sembahyang Hari Raya Fitrah (Aidilfitri) dan sembahyang Hari Raya
Korban (Aidiladha). jga tiada iqamat." (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Jumlah rakaatnya adalah 2 rakaat
Hal ini didasarkan pada riwayat
Umar ra.”shalat ketika bepergian itu dua rekaat, sholat idul adha dua rakaat,
dan shalat idul fitri dua rakaat. Bentuknya sempurna dan bukan qashar,
berdasarkan sabda Muhammad saw,” (HR Ahmad 1/37, Nasa'i 3/183, Baihaqy 3/200
dengan sanad yang shahih).
4.
Membaca takbir tujuh kali pada
rakaat pertama, dan takbir lima kali pada rakaat yang kedua.
Takbir tujuh kali dalam rakaat
yang pertama tersebut tidak termasuk takbiratul ihram. Demikian juga takbir
lima kali dalam rakaat yang kedua tidak termasuk takbir intiqal saat berdiri
dari sujud. Takbir tujuh kali pada rakaat yang pertama dibaca setelah membaca
doa iftitah, sedangkan takbir lima kali dalam rakaat kedua dibaca ketika sudah
berdiri sempurna pada rakaat yang kedua sebelum imam membaca surat Al Fatihah. Di
sela-sela takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua
tersebut disunahkan untuk membaca lafaz : Subhanallah
walhamdulillah walaailaaha illallah allahuakbar "Mahasuci Allah SWT,
segala puji bagi Allah , tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Allah
Mahabesar"
5.
Imam mengeraskan bacaan (jahran)
6.
Setelah shalat Id dilanjutkan
dengan khutbah
4.
Adab – adab
a.
Tanpa Adzan dan Iqamah
Shalat ‘Ied dikerjakan tanpa
dikumandangkan adzan dan juga iqamat. Hal ini berdasarkan pada hadist dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana ia berkata :
“Tidak pernah
dikumandangkan adzan pada hari raya idul fitri dan juga idul adha”.(HR Muttafaqun
Alaih).
- Di sunnahkan mandi, memakai wewangian dan berpakaian baik
Mandi pada pagi hari sebelum
berangkat untuk menunaikan shalat 'Ied adalah amalan yang sunnah. Waktu
disunnahkannya mandi tersebut dimulai sejak pertengahan malam. Bagi para wanita
muslimah dianjurkan memakai wewangian ketika mengerjakan shalat 'ied dan
mengenakan pakaian yang baik. Akan tetapi, pemakaian wewangian itu tidak boleh
berlebihan, sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Dari Annas bin
Malik ra, ia menceritakan :
“Pada hari
raya idul fitri dan idul adha, Rasulullah memerintahkan kami untuk mengenakan
pakaian terbaik yang kami miliki dan memakai wewangian yang terbaik yang ada
pada kami, serta berkurban dengan binatang yang tergemuk yang kami punyai.”(HR Al - Hakim)
- Makan sebelum melaksanakan shalat idul fitri
Disunnahkan untuk memakan
beberapa buah kurma yang jumlahnya ganjil sebelum berangkat menuju tempat
pelaksanaan shalat idul fitri. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan
dari Anas bin Malik, dimana ia menceritakan :
“Rasulullah
saw tidak
berangkat shalat pada hari raya idul fitri, sehingga beliau memakan beberapa
buah kurma.”
Murajja' bin Raja' mengatakan :
Ubaidillah pernah memberitahukan kepadaku, di mana ia menceritakan; Anas bin
Malik ra pernah memberitahukan kepadaku dari Nabi saw : “bahwa beliau memakan kurma itu dalam jumlah ganjil.”(HR Imam Al –
Bukhari).
- Makan setelah melaksanakan shalat idul adha
Makan pada hari raya idul adha
disunnahkan setelah mengerjakan shalat 'Ied. Jika Allah swt memberikan
kemurahan untuk berkurban, maka kita diperbolehkan untuk memakan hati dari
hewan yang kita kurbankan tersebut. Seperti halnya para penghuni surga, di mana
makanan yang pertama kali disuguhkan kepada mereka ketika memasuki surga adalah
hati ikan paus. Dari Buraidah ra, diceritakan :
“Bahwa
Nabi tidak berangkat shalat pada hari raya idul fitri melainkan setelah makan,
dan beliau tidak makan pada hari raya Idul adha, melainkan setelah kembali dari
shalat.”(HR
Imam At-Tirmidzi, Ibu Majah dan Imam Ahmad).
- Menempuh jalan yang berbeda
Disunahkan untuk berangkat ke
tempat pelaksanaan shalat 'Ied melalui suatu jalan dan kembali pulang menempuh
jalan yang lain. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra,
dimana ia bercerita :
“Apabila
berangkat shalat 'ied, Nabi menempuh jalan yang berbeda dengan jalan lyang
beliau tempuh pada saat pulang.” (HR Imam Al – Bukhari).
Ibnul Qyyim al – Juziyah (dalam Al
Izzah)menerangkan
pengertian “menempuh jalan lain” yaitu
: beliau pergi melalui sebuah jalan dan pulang melalui jalan lain. Diantara
hikmahnya adalah untuk menmpakkan syiar islam.
- Berangkat ke tempat pelaksanaan shalat
Disunnahkan
bagi wanita muslimah untuk berangkat ke tanah lapang pada saat hendak melaksanakan
shalat idul fitri maupun idul adha. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw, para sahat dan tabi'in.
Dari Sa’ad ra bahwa Nabi saw keluar
menuju lapangan dengan berjalan kaki, dan beliau pulang juga dengan berjalan.
(HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan
dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri).” (HR.
At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
- Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat idul fitri dan idul adha.
Tidak ada satu dalil pun yang
menetapkan adanya shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat 'ied. Nabi saw dan
juga para sahabatnya tidak pernah mengerjakan satu raka'at pun shalat sunnah
sebelum maupun sesudah shalat 'ied.
Dari ibnu abbas ra, ia berkata :
“Rasulullah
pernah berangkat untuk menunaikan shalat pada hari raya, lalu beliau
mengerjakan shalat dua raka'at (yaitu shalat 'ied) dan tidak mengerjakan shalat
yang lain sebelum maupun sesudahnya.”(HR Jamaah).
- Mengucapkan selamat pada hari raya
Disunnahkan bagi kaum muslimin
danmuslimat pada hari raya ini memberikan ucapan selamat. Hal ini berdasarkan
pada hadits dari Jubair bin Nufail, di mana ia berkata:
“Apabila para sahabat Rasulullah saw bertemu pada hari raya, maka mereka
saling mengucapkan : Taqobballahu Minna wa minka.”(Al –
Hafidz Ibny Hajar mengatakan, isnad hadits ini berstatus hasan)
i.
Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
– رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ
“Nabi saw dan Abu Bakr, begitu
pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”(HR Bukhari dan Muslim)
7.
Beberapa kesalahan dalam pelaksanaan
Idul Fitri dan Idul Adha
Wahid abdus salam bali menyebutkan
beberapa kesalahan dalam pelaksanaan shalat idain, diantaranya :
a.
Mengkhususkan hari raya untuk qiyamullail
Adapun mengkhususkan satu malam
tertentu untuk qiyamullail dengan asumsi bahwa malam itu memiliki keutamaan
dibandingkan malam – malam yang lain, tanpa disertai dalil syara’ merupakan
perbuatan bid’ah yang diharamkan.
b.
Pergi ke makam pada hari raya
Setelah selesai melaksanakan shalat
‘ied, sebagian kaum muslimin ada yang pergi ke makam – makam untuk menziarahi
kubur kerabat atau temannya pada hari raya. Sebagian yang lain ada yang
mengakhirkan ziarah kuburnya pada sore harinya. Kedua hal ini merupakan
kesalahan.
Syaikh Ali Mahfuzh rahimahullah
menuturkan :”diantara praktik – praktik bid’ah adalah kesibukan kaum muslimin
seusai shalat ‘ied dengan berziarah ke makam – makam para wali ataupun makam
para kerabat sebelum mereka pergi ke keluarga mereka. Dahulu, Rasulullah saw
keluar bersama para sahabat beliau ke
padang sahara untuk melaksanakan shalat ‘ied. Beliau pergi melewati satu jalan
dan pulang melewati jalan yang lain. Tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan
bahwa beliau berziarah ke suatu makam selama kepergian dan kepulangan beliau,
padahal ada banyak makam yang berada disepanjang perjalanan beliau.”
c.
Berjabat tangan dengan bukan mahram
pada hari raya
Pada hari raya memang disunnahkan untuk
mengunjungi kaum kerabat dan bersilaturrahim. Akan tetapi, dalam kunjungan –
kunjungan ini terkadang terjadi hal – hal yang bertentangan dengan syariat.
Misalnya saling berjabat tangan dengan yang bukan mahramnya.
Ar – ruyani telah meriwayatkan dengan
sanad jayyid, dari Ma’qal bin Yasar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: sungguh lebih baik kepala seorang laki –
laki ditusuk dengan jarum besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya.(HR Ar-Ruyani (II/227) dan ditetapkan ke-shahihannya- oleh
Al-Albani dalam Ash – Shahihah hlm. 226.hadis ini shahih)
d.
Keyakinan bahwa hewan betina tidak
boleh untuk berkorban
Sebagian orang mengira bahwa binatang
betina tidak boleh dipakai untuk berkurban. Keyakinan ini salah, sebab
sebagaimanan halnya hewan jantan dan betina tetap boleh digunakan untuk
berkurban.
e.
Mengambil bulu dan kuku hewan kurban
Barangsiapa yang telah berniat untuk
berkurban, maka ia tidak boleh mengambil sedikit pun dari anggota tubuh hewan
kurban, baik bulu maupun kukunya, sejak awal bulan Dzulhijjah hingga waktu
penyembelihan. Hal ini didasarkan pada hadis Ummu Salamah ra. Bahwasanya Nabi
saw bersabda : barangsiapa yang telah melihat
hilal (tanggal satu) bulan Dzulhijjah dan dia ingin berkurban, maka janganlah
mengambil bulu ataupun kukunya hingga ia menyembelihnya (HR An- Nasa’i).
8.
Apabila Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumat.
Apabila
hari raya bertepatan dengan hari Jumat maka kaum lelaki diberi keringanan untuk
tidak menghadiri shalat jumat.
Dari
Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu, bahwa beliau bertanya kepada Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, “Apakah kamu pernah
mengalami hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertepatan dengan hari
Jumat?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?”
Zaid menjawab, “Beliau shalat id dan memberi keringanan untuk tidak hadir
shalat jumat. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin shalat jumat, silakan
shalat jumat.” (HR. Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah terkumpul di hari kalian ini dua
hari raya. Barangsiapa yang ingin meninggalkan jumatan maka shalat id ini telah
cukup baginya untuk meninggalkan shalat jumat. Namun kami akan melaksanakan
shalat jumat.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i; dishahihkan Al-Albani)
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwa suatu ketika terkumpul dua hari raya (dalam sehari)
di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami masyarakat dan
bersabda, “Barangsiapa yang ingin mendatangi shalat jumat maka silakan datang,
dan barangsiapa yang ingin tidak shalat jumat silakan tidak shalat jumat.” (HR.
Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Keterangan:
1.
Yang
dimaksud “dua hari raya” pada hadits-hadits di atas adalah hari raya Idul Adha
dan hari Jumat. Keringanan
meninggalkan shalat jumat hanya khusus untuk orang yang sudah melaksanakan
shalat id. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat id, dia wajib mengikuti
shalat jumat. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dari Mu’awiyah dan
hadits Abu Hurairah ra. Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat jumat, maka wajib baginya
melaksanakan shalat zuhur empat rakaat, karena shalat zuhur adalah kewajiban
asal ketika tidak shalat jumat.
2.
Imam Ibnu
Qudamah mengatakan, “Bagi petugas shalat jumat (yaitu khatib dan muazin),
kewajiban shalat jumatnya tidak gugur, menurut pendapat yang benar. Berdasarkan
sabda Nabi saw, “Namun kami akan melaksanakan jumatan.” Jika khatib dan petugas
jumatan tidak datang, ini akan menghalangi orang lain yang wajib mengikuti
jumatan (mendengarkan khutbah jumat dan mendirikan shalat jumat) untuk
melaksanakan jumatan, berbeda dengan masyarakat umum yang boleh tidak jumatan.”
(Al-Mughni: 2/212, Ibnu
Qudamah)
9.
Halal bi halal
Kata
halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan
haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum
Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti,
yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi saw bersabda, “Abghadu al-halal ila
Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan
suami-istri). Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, sebaiknya kata
halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum. Dalam
Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks
kecaman, yaitu:Katakanlah, “Terangkanlah
kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]:
59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah)
kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan
apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman
terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika
yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,
lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat
halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan
ketiga ayat berikut
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS
Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban… (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata
makan dalam Al-Quran sering diartikan “melakukan aktivitas apa pun.” Ini
agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang
dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat
di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak
sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Jika dikembalikan pada empat
jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran
menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas
kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing
sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar)
dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing
dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan
al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing
tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang
yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan
yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap
yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat
baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali
dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar
perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam
Al-Quran surat Ali-’Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya
keserasian hubungan.
Mereka
yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun
sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang
bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai
mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini
terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf,
dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.
Minal ‘Aidin Wal Faizin
Salah
satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal ‘Aidin wal Faizin. Kata-kata
“Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih
panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni :
“Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang
artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian
lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali
(kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan)”.
Sehingga
arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga kita termasuk
(orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan
(kemenangan)”.
Dari
segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “(semoga kita) termasuk
orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali kepada fitrah
manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa juga berarti “agama
yang benar”.
Setelah
berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah dan mengasuh jiwa dengan berpuasa,
kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian kita, kembali ke dalam
keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan dulu, serta bisa kembali
mengamalkan ajaran agama yang benar.
Sedangkan
kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang
beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan. Dalam
konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, seluruhnya (kecuali
dalam QS 4: 73), berarti “pengampunan dan keridhaan Allah SWT serta kebahagiaan
surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya dipahami sebagai harapan dan doa,
semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh keberuntungan berupa
memperoleh ampunan dan ridha Allah swt sehingga kita semua mendapat kenikmatan
surga-Nya.
“Barangsiapa yang
dijauhkan –walaupun sedikit– dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh dia telah beruntung.” (QS Ali ‘Imran [3]:
185).
No comments:
Post a Comment