Lahir dan Masa
Kecil
WR
Soepratman atau Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1903
tepatnya hari Senin Wage, di Jatinegara Jakarta. Tapi ada pula versi yang
menyebutkan kelahirannya adalah tanggal 19 Maret. Ia adalah anak dari seorang
sersan di Batalyon VIII yang bernama Senen. WR Soepratman adalah tujuh
bersaudara. Salah satu kakaknya yang juga ikut menorehkan sejarah kesuksesan
beliau adalah Roekijem yang bersuamikan seorang Belanda yang bernama Willem van
Eldik.
Ketika WR
Soepratman berumur 11 tahun, ia ikut kakaknya Roekitjem yang berdomisili di
Makassar. WR Soepratman kemudian disekolahkan oleh kakak iparnya.
WR
Soepratman kemudian mendalami bahasa Belanda selama 3 tahun yang kemudian
berlanjut ke Normaalschool. Pada tahun 1923 yaitu ketika WR Soepratman telah
menamatkan pendidikannya, ia lalu menjadi guru di Sekolah Angka 2. Pada tahun
1925, ijazah Klein Ambtenaar miliknya keluar.
Setelah
keluar dari guru di Sekolah Angka 2, WR Soepratman kemudian bekerja di sebuah
perusahaan dagang yang di Ujung Pandang. WR Soepratman kemudian beralih profesi
menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di Bandung yang kemudian berpindah ke
surat kabar Sin Poo di Jakarta. Pada saat itulah, WR Soepratman banyak bergaul
dengan tokoh pergerakan nasional dan dirinya mulai tertarik dengan pergerakan
nasional.
Dari
hubungannya dengan tokoh-tokoh nasionalis tersebut, timbullah rasa benci
terhadap Belanda yang kemudian ia tuliskan rasa tidak senang itu di sebuah buku
karangannya yang berjudul Perawan Desa. Buku itu memberikan inspirasi banyak
orang agar bersatu untuk melawan Belanda sehingga buku tersebut dilarang
beredar oleh Belanda.
WR
Soepratman kemudian berpindah tugas di kota Singkang, namun kemudian WR
Soepratman mengundurkan diri dari wartawan dan pulang kembali ke rumah
kakaknya, Roekitjem di Makassar.
Roekitjem
adalah seorang yang ahli bermain musik biola dan sandiwara. Banyak hasil
kreasinya baik itu musik biola atau sandiwara yang kemudian dipentaskan di mes
militer. Keahlian sang kakak ini kemudian menarik minat WR Soepratman akan
musik. Beliau akhirnya banyak belajar musik dari sang kakak dan membaca
buku-buku musik milik kakaknya. Beliau juga diajari musik oleh kakak iparnya
yaitu suami Roekitjem. WR Soepratman menunjukkan kemajuannya dalam bermain
musik, beliau bahkan sudah bisa menggubah lagu. Suatu hari, WR Soepratman
membaca suatu majalah yang bernama majalah Timbul yang isinya menantang para
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Mengetahui
hal ini, WR Soepratman merasa tertantang untuk ikut menciptakan karya luhur
tersebut. WR Soepratman lalu menggubah lagu yang kemudian pada 1924 terciptalah
lagu “Indonesia Raya” karyanya.
Pada tahun
1928 bulan Oktober, diadakanlah Kongres Pemuda II dimana para tokoh pergerakan
nasional dan perwakilan para pemuda seluruh Indonesia berkumpul untuk
menyatukan visi mencapai Indonesia Merdeka. Di situ WR Soepratman juga hadir
dan pertama kalinya beliau memperdengarkan lagu Indonesia Raya secara
instrumental dengan biola (tanpa syair).
Mengapa
dikumandangkan lagu Indonesia Raya itu secara instrumental? Hal ini adalah
usulan Soegondo Djojopuspito, salah satu tokoh pergerakan nasional, dengan
alasan menjaga situasai politik dan kondisi saat itu. Banyak hadirin terpukau
dengan lagu itu. Lagu tersebut telah berhasil mewakili keinginan rakyat
Indonesia untuk segera merdeka dari Belanda.
Sesudah
kongres itu, lagu Indonesia raya selalu diperdengarkan di kongres politik dan
kongres nasional lainnya.
Belanda
begitu khawatir akan efek persatuan yang ditimbulkan oleh lagu itu. Akhirnya
Belanda selalu memburu WR Soepratman yang telah menciptakan lagu tersebut.
Karena selalu menghindar dari kejaran polisi Belanda, W Soepratman akhirnya
kelelahan dan jatuh sakit di Surbaya. WR Soepratman juga menciptakan lagu
“Matahari Terbit” pada tahun 1938, ia kemudian menyiarkan lagu tersebut bersama
pandu-pandu NIROM di jalan Embong Malang yang akhirnya membuatnya benar-benar
ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan di penjara Kalisosok Surabaya.
Kesehatannya
yang menurun drastis ditambah tekanan fisik serta psikis karena diburu oleh
Belanda membuat WR Soepratman akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia pada
hari Rabo Wage, tanggal 17 Agustus 1938. Beliau meninggal dunia tepatnya di Jl
Mangga no 21 Surabaya dan dimakamkan secara Islam di Makam Umum Kapasan, Jl.
Kenjeran Surabaya.
WR
Soeprtman telah berjasa dalam membuat lagu yang bisa menyatukan rakyat
Indonesia dan memberikan kobaran semangat demi terciptanya Indonesia Merdeka.
Namun WR Sepratman sendiri tak sempat menghirup udara kemerdekaan karena keburu
meninggal. Beliau tidak pernah menikah dan memiliki anak bahkan anak angkat
sekalipun. Hidupnya diabdikan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui
lagu.
Sebelum
meninggal, WR Soepratman sempat menulis sebuah surat yang berisi seperti
berikut :
“Nasipkoe
soedah begini. Inilah yang di soekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja
meninggal, Indonesia pasti merdeka”.
Yang
artinya : “Takdirku memang begini. Inilah yang diinginkan pemerintah Hindia
Belanda. Biarlah saya meninggal, Indonesia pasti merdeka”.
Selain
Indonesia Raya dan Matahari Terbit, WR Soepratman juga menciptakan lagu-lagu
perjuangan lainnya. Berikut ini adalah lagu-lagu karya beliau :
·
Kebangsaan Indonesia
Raya (1928),
·
Indonesia Ibuku (1928),
·
Bendera Kita Merah
Putih (1929),
·
Raden Ajeng Kartini
(1929),
·
Lagu Mars Kepanduan
Bangsa Indonesia (1930),
·
Di Timoer Matahari
(1931),
·
Mars
Parindra (1937),
·
Mars Soerya
Wirawan (1937),
·
Matahari
Terbit (1938),
·
dan lagu Selamat
Tinggal (1938) belum terselesaikan.
WR Soepratman juga mengarang buku-buku
yang isinya mengajak untuk bersatu, seperti Perawan Desa, Darah Moeda dan Kaoem
Panatik (1929). Pada
tanggal 26 Juni 1958 dikeluarkanlah
Kepres No 44/1958 yang isinya menetapkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu
kebangsaan Indonesia.